Friday, December 28, 2007

Selamat Natal Menurut Al-Qur'an

Oleh: Prof. Dr. Quraish Shihab
    Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali. Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu. Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak bicara.'"

    "Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina," demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali."

Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. Dengan demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa a.s.

Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk. mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa 'Asyura, seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s."

Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?" seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih kurang pandangan satu pendapat.

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti untuk merujuk kepercayaan kita.

Isa a.s. datang mermbawa kasih, "Kasihilah seterumu dan doakan yang menganiayamu." Muhammad saw. datang membawa rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit merahmatimu." Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan. Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia," sedangkan Muhammad saw. diperintah:kan oleh Allah untuk berkata: "Aku manusia seperti kamu." Keduanya datang membebaskan manusia dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan. Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi tidur." Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena kematiannya." Muhammad saw. lalu menegur, "Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian atau kehahiran seorang." Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah dan tertindas -dhu'afa' dan al-mustadh'affin dalam istilah Al-Quran.

Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa' (Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu? Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual . Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata yang melarangnya.

Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Q!uran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak disalahpahami. Kata "Allah," misalnya, tidak digunakan oleh Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad) Demikian terlihat pada wahlyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya, "Dimana Tuhan?" Tertolak riwayat sang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan, tetapi "wujud Tuhan."

Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.

Adakah kacamata lain? Mungkin!

Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat Al-Quran?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.

Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan. Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti.

Tuesday, November 13, 2007

Irit Kata-kata

Kamu tahu gak aku tuh kangen?
Ehm. (=Tahu.)
Jadi kamu lagi nggak terbang?
Ehm. (=Iya.)
Aku pengen ketemuan sih, tapi kerjaan lagi nggak bisa ditinggal.
Ehm. (=Tahu or =Biasa kan?)
Aku lagi sedih, habis ngeluarin surat peringatan nih.
Ehm...(=Kenapa ya?)
Ya gitu deh, karena memang harus diingetin supaya disiplin dan mentaati deadline dan peraturan karena sudah keterlaluan.
Ehm. (=Oke.)
Aku mau promo tur ama Cosmopolitan ke Surabaya dan Bali ya. Kan kamu udah aku SMS jadwalku kan?
Ehm. (=Iya.)
Kamu ndengerin aku nggak sih?
Iya.
Oh. Kirain cuma bisa "ehm" doang...
Ehm...
Ah ya udah. Yang penting kita ntar janjian dateng bareng pas nikahan Anto-Gia ya.
Ehm.

Fira Basuki : Irit kata-kata

Monday, November 12, 2007

Two forms of paranoia noted: “Poor Me” and “Bad Me”

Two forms of paranoia noted: “Poor Me” and “Bad Me”

Nov. 30, 2005
Special to World Science

Traditionally, paranoia is defined as a delusion of persecution. The paranoid person thinks people are “out to get” him or her.

Now, some researchers say mounting evidence suggests paranoia, traditionally considered one condition, really takes two forms.

In the first, the paranoiac believes the persecution is unfair. This is called “Poor Me” paranoia. In the second, the patient thinks he actually deserves to be persecuted. This is dubbed “Bad Me” paranoia.

The theory isn’t new; it was first proposed a decade ago, and has gained some acceptance in the psychological community. But its proponents say there has been a need for further evidence.

Thus, the two psychologists who developed the idea—Paul Chadwick of the University of Southampton, U.K., and Peter Trower of the University of Birmingham, U.K.—conducted a new study to test it.

Along with two other colleagues, they analyzed a sample of 53 people diagnosed as paranoid to see if the details of their condition matched with certain specific predictions of their hypothesis. The hypothesis claims paranoia can be associated with higher or lower self-esteem, corresponding to “Poor Me” and “Bad Me” respectively.

The researchers said they arranged for independent experts to evaluate the patients and score them on a variety of tests.

As expected, “the Bad Me group manifested significantly lower self-esteem than the Poor Me group,” the researchers wrote in a paper describing their findings. The Bad Me group was also more depressed, they added. The paper appears in the Nov. 1 issue of the research journal Psychopathology.

One might argue, the researchers noted, that the lower self-esteem among the Poor Me group simply results from their greater depression, rather than a difference in the type of delusion itself.

But the study “showed that this was not so—the Poor Me/Bad Me groups still differed significantly in scores on these two variables even when depression was removed from the equation,” they wrote.

But some other aspects of the study didn’t clearly support the proposal, they acknowledged.

For one thing, the findings failed to bear out another prediction of the theory: that Poor Me paranoia would be associated with higher anger levels.

Another weakness of the study, they asserted, was the sample of patients was chosen based on which patients could be conveniently recruited. Thus it wasn’t totally random and might not reflect the wider population of paranoiacs.

Nonetheless, the researchers argued that on balance the findings support their hypothesis.

“In Bad Me, others’ malevolence is seen as deserved—the self is consciously experienced as bad/unworthy and the mistreatment by others as a punishment for this,” they explained.

But they cautioned that not all paranoiacs might fit into these two types, and that some people might change from one type to the other. Nonetheless, the distinction might be useful to psychologists, because it could help improve treatments, they added.

* * *

LINKS/RESOURCES

Study by Chadwick et al.
Information on paranoia
from mentalhealth.com
Paranoia information
from thesite.org.uk, by YouthNet UK
National Alliance on Mental Illness (USA)

Monday, October 29, 2007

Satu Detik setelah Loe Koit !

Part 1

Bukan artikel rohani ! Kewajiban setiap manusia di dunia ini entah ia itu wong Tionghoa, wong Londo, wong Indo semuanya harus koit ! Saya menyadari bahwa generasi mang Ucup adalah generasi kloter berikutnya yang akan yang akan mendapatkan "last call for departure".

Pokoknya rekan-rekan ato para pembaca yang usianya udah diatas GOcap-GO, harus siap-siap lah untuk dipanggil, bahwa tidak lama lagi "Loe kudu GO to heaven" or to Hell pulang kampuang begitu. Hanya orang-orang belegug ato dalam bahasa Inggrisnya GO-Block azah yang tidak mau membuat persiapan dari sekarang.

Tiap orang udah nyaho, bahwa mereka itu harus kojor, tetapi sangat jarang sekali yang mo mikirin, seakan-akan mereka itu bisa hidup kekal didunia ini seperti juga Highlander. Apabila kita akan berangkat pergi liburan tentu kita ingin mengetahui tempat yang akan kita tuju, tetapi pernahkah Anda ingin mengetahui "What next?" setelah kematian itu datang!

Apa yang akan terjadi "One second after you die" – "Satu detik setelah Loe koit!"
Orang-orang disekitar saya memiliki tiga pandangan mengenai kematian itu:
- berakhir s/d disini saja alias jadi seongok debu ato abu
- dilahirkan kembali entah jadi kecoak, cacing ato manusia ato jadi buaya
- melanjutkan kehidupan ini dengan tubuh baru yang kekal dan abadi

Yang sudah pasti setelah si Ucp mampus! Manusia yang namanya Ucup itu udah di setip alias dibusek di dunia ini dan digantikan dengan nama Ucup Almarhum. Semua kewajiban duniawi, mulai dari utang yang berjibun s/d segala macam kontrak perjanjian pun akan berakhir dengan sendirinya, begitu juga dengan kontrak perkawinan kita. Hal positiv lainnya ialah semua rasa nyeri, rasa takut, maupun penderitaan duniawi kita pun akan berakhir, jadi benar-benar bebas tulen!

Sedangkan dari sisi negativ nya apa saja yang menjadi miliki kita di dunia ini, akan hilang pada saat itu juga, entah ini mobil Jaguar, uang simpanan di Swis Bank, istri simpanan di Jkt, gelar, jabatan maupun kekuasaan akan menguap dalam sedetik setelah si Ucup koit. Begitu juga dengan tubuh jasmani, kita tidak akan bisa balik kembali ketubuh itu lagi, karena ini sdh bukan menjadi milik kita lagi, bahkan kita sdh kehilangan kontrol terhadap diri kita sendiri.

Sejak si Ucup mati, maka ia sdh akan tidak berfungsi lagi, sama seperti juga robot yang kehabisan baterie. Yang ada hanya seongok daging yang tidak lama lagi akan menjadi busuk ato jadi abu! Setelah Loe mati, Loe akan kehilangan semua hak yang Loe miliki, kita tidak memiliki hak kebebasan untuk memilih ataupun menentukan ini ato itu lagi, it is over my friend!

Ada dua macam tipe manusia di dunia ini, yang satu emoh ato enggan pulang kampuang, dengan alasan karena anak-anaknya masih kecil lah, ato merasa tugas ini ato itu belum selesai, tetapi ini semuanya hanya sekedar alasan monafik, alasan yang sebenarnya sih "Gue masih belum puas merengguk kehidupan di dunia ini, sehingga Gue masih betah di dunia yang pabaliut ini, walaupun banyak orang kere, sengsara dan menderita sekalipun, itu kan bukan urusan Owe, yang penting Gw bisa hidup sehat, makan enak dan hidup enak, yang lain sih masa bodo, so what gitu loh!"

Sedang manusia tipe lainnya ingin buruan pulang, karena mereka udah nyaho bahwa masa hidupnya udah di itung oleh kalkulatornya sang Dr, ato penderitaan yang datang tak ada abis2nya, ato rasa nyeri yang tak kujung berakhir. Tetapi yang menjadi masalah adalah what next? Satu detik setelah Loe koit! Apakah api neraka yang udah nunggu Loe disono? Ato pager betis yang terdiri dari malaikat2 yang geulis dan bahenol sedang menunggu kita?

Hal inilah yang membuat orang jadi takut kojor dan bimbang untuk memilih hidup atau kematian, ketika Hamlet dalam drama Shakespeare mau bunuh diri ia merenung dalam2 dan berkata:
"To be or not to be: that is the question"

Whether 'tis nobler in the mind to suffer
the slings and arrows of outrageous fortune,
or to take arms against a sea of troubles, and by opposing end them?
To die: To sleep; no more; ….
: (Shakespeare, Hamlet, Act III, Scene I)

Manakah yang lebih luhur, menerima dengan rela panah atau batu pelontar nasib buruk yang ganas, ataukah menempuh lautan bencana menentangnya serta mengakhirinya? Mati – tidur – tak lebih.

Hamlet bersedia untuk melakukan bunuh diri karena menurut dia ini akan bisa membebaskan dia dari lautan bencana, tetapi dilain pihak ia khawatir akan kerajaan maut, dari mana musafir tak pernah kembali dengan selamat. Hal inilah yang membuat dia jadi bingung dan lieur!

Lucu bin nyata, sebenarnya di dunia ini tidak ada manusia hidup satupun juga, yang pernah mengadakan tour ke dunia orang mati, tetapi anehnya kok buaaa…anyak sekali travel office yang menawarkan tour ke sorga indah. Para calo-calo Firman itu begitu pinternya menjual angin sorga sehingga banyak sekali manusia yang tergiur, sehingga mereka bersedia untuk membayar uang dimuka untuk mendapatkan ticket ke sorga indah ini. Ingin nyaho dongeng lanjutannya baca oret-oretan liuer nya mang Ucup esok.


Part 2

Mulai dari gembel s/d presiden, mulai dari koruptor s/d provokator, mulai dari pembunuh s/d Kyiai, Bikshu, Pdt/Nabi pendeknya entah siapapun kita ini harus mati. Yang beda hanya caranya saja, normal ataukah abnormal, mati sakit ataukah mati dibunuh, karena usia tua ataukah karena bunuh diri atau bisa juga mati karena digilas lebur jadi bubur ama kereta api. Tetapi semua makhluk hidup di dunia ini mulai dari binatang, tumbuh-tumbuhan s/d manusia memiliki satu tujuan yang sama ialah "kematian'!

Tujuan dari dilahirkan dimuka bumi ini adalah kematian, sehingga timbul pertanyaan dan pikiran kenapa harus dilahirkan kalau toh nantinya harus mati juga? Apa gunanya hidup ini kalau harus diakhiri dengan kematian? Agaknya menuju ke kematian itu adalah konsep kunci untuk menjawab pertanyaan mengapa manusia harus hidup.

Walaupun manusia sudah bisa menjabarkan seluruh rahasia dari DNA, bahkan bisa mengkloning kehidupan, tetapi kenyataannya pertanyaan yang simpel tsb diatas masih belum mampu dijawab secara rasional, karena s/d saat ini kita belum bisa menguak rahasia dari kematian secara ilmiah.

Lucunya walaupun kita ini tahu bahwa kita ini harus mati dan `tidak mungkin" bisa melawan kematian, tetapi sejak ribuan tahun manusia itu tetap saja mencoba terus untuk melawan kematian dan kita tidak mau menerima kenyataan, bahwa kita itu harus mati.

Mulai dari gembel s/d profesor, walaupun mereka sudah di vonis musti mati, tetapi mereka tetap saja ingin berusaha terus dengan segala macam daya upaya untuk bisa hidup terus atau minimum memperpanjang hidup mereka.

Kalaupun ada "keabadian", ia cuma berarti sirkulasi infra-human saja. Misalnya, daging yang membusuk jadi tanah, jenasah yang dikremasi jadi abu, dll. Maka, hanya manusia yang bisa meninggal. Sedangkan sisanya cuma mati-busuk-habis, tanpa embel-embel. Tapi dalam diri manusia, kematian memperoleh dimensi sejati ialah "tempat/saat" sejarah (ruang/waktu) manusia menjadi keabadian. Jadi hidup terus di dalam dunia maya saja.

Sebenarnya udah jelas tujuan hidup kita ini ialah kematian, tetapi 99,9% manusia didunia ini tidak ada yang mempersiapkan kehidupannya untuk menuju kematian, boro-boro untuk mempersiapkannya memikirkannya azah ogah.

Tanya azah sama diri sendiri, apakah terpikirkan oleh Anda bagaimana kalau Anda besok meninggal dunia? Tidak! Yang terpikirkan oleh mang Ucup adalah bagaimana saya bisa menikmati hari weekend dan liburan Lebaran yang akan datang ini, bagaimana saya bisa menikmati hasil pensiun saya dihari tua? Bagaimana saya mempersiapkan diri setelah masa studi saya, masa lajang saya dst-nya, tetapi enggak pernah kepikir tuh mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian.

Walaupun kita semuanya sadar bahwa hidup ini hanya untuk sesaat waktu saja, tetapi kita fokuskan seluruh energi/waktu/uang/keluarga hanya untuk mempersiapkan kehidupan dihari esok, lihat saja kita sekolah bertahun-tahun untuk mempersiapkan kehidupan dihari esok, begitu juga kita menabung untuk kehidupan di hari esok. Tetapi tanyalah sama diri sendiri, kapan kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian? Adakah pelajaran atau sekolah untuk menghadapi atau mempersiapkan kematian? Atau kuliah untuk bisa meraih gelar Dr Koit !

Bahkan Alkitab sekalipun isinya 99% hanya untuk memberikan bimbingan bagaimana kita menjalani hidup di dunia ini. Jadi bukan bagaimana caranya nanti kita menjalani kehidupan surgawi kita.

Tanpa diduga dan tidak bisa diramalkan, suka atau tidak, kematian "PASTI" akan datang menjemput saya maupun Anda, tetapi persiapan apa yang sudah kita lakukan untuk menghadapi hari kematian kita?

Pada saat kematian tiba, kita tidak perlu packing koper, karena kita datang telanjang, maka pulangpun telanjang pula tanpa koper ataupun tas kerecek. Kita tidak perlu pamitan dengan siapapun juga. Entah tugas kita selesai atau tidak selesai, tanpa bisa ditawar lagi kita harus berangkat pada saat itu juga. Hari kematian kita tidak bisa ditawar barang satu detik pun juga.

Banyak orang berduka dan menangis, apabila melihat mayat yang terbujur kaku, karena hal yang sama pasti akan ia alami juga, hanya kita tidak tahu waktunya saja kapan?

Hal ini yang mengakibatkan banyak orang menilai bahwa kematian itu adalah sesuatu hal yang negativ, kalau tidak demikian kenapa harus ke Dr untuk memperpanjang hidup. Untuk itu; kita manusia mencari jalan agar dapat menetralisir pandangan yang negativ ini untuk dirobah menjadi positiv melalui "Agama" dan segala iming-iming sorgawi.

Oleh sebab itulah mang Ucup menilai agama itu entah agama apapun juga, sebenarnya hanya sekedar merupakan obat pembius otak, atau senjata agar dinamika akal kita bisa "menangkap" arti kematian manusia secara positif.

Renungkanlah segala sesuatu yang anda dapat lakukan saat ini: anda dapat mengedipkan mata anda, menggerakkan badan anda, berbicara, tertawa; semua ini merupakan fungsi tubuh anda. Sekarang renungkan bagaimana keadaan dan bentuk tubuh anda setelah anda mati nanti.

Satu detik setelah anda mati, anda tidak ada apa-apanya lagi selain "seonggok daging". Tubuh anda yang diam dan terbujur kaku, akan dibawa ke kamar mayat. Di sana, ia akan dimandikan untuk yang terakhir kalinya. Segera setelah anda dimakamkan, maka bakteri-bakteri dan serangga-serangga berkembang biak pada mayat tersebut, sehingga akhirnya "onggokkan daging dan tulang" yang tadinya dapat dikenali; mengalami akhir yang menjijikkan.

Ketika kematian dialami oleh seorang manusia, semua "kenyataan" dalam hidup tiba-tiba lenyap. Tidak ada lagi kenangan akan "hari-hari indah" di dunia ini.

Mang, manusia kan punya jiwa ? Kemana tuh nanti perginya roh/jiwa itu ? Apakah keberadaan roh/jiwa itu bisa dibutikan secara ilmiah ? Ingin tahu jawabannya mengenai jiwa dan roh berdasarkan penelitian ilmiah jadi bukan hanya sekedar dongeng dari buku agama, baca sambungannya !


Part 3

Banyak orang tidak yakin akan adanya jiwa di dalam tubuh kita, maklum jiwa itu tidak bisa dilihat, tetapi anehnya di Indonesia ada Dr Jiwa, Rumah Sakit Jiwa maupun Asuransi Jiwa, walaupun belum ada satu orang pun yang pernah melihat jiwa.

Pertanyaan saya kapan jiwa/roh dari orang tsb akan keluar meninggalkan tubuhnya? Apakah setelah ia tidak bernafas lagi? Menurut beberapa kepercayaan dan pendapat orang, setelah orang itu mati jiwa/roh dari orang tsb akan tetap berada melayang-layang disekitar tubuhnya selama 72 jam oleh sebab itulah mereka tidak akan mau menguburkan mayat tsb sebelum masa 72 jam ini lewat.

Sedangkan menurut pendapat mang Ucup, orang itu meninggal dunia (mati) apabila jiwanya sudah tidak bisa balik atau berhubungan lagi dengan tubuhnya, jadi sudah benar-benar keluar dan putus hubungan dari tubuh tsb. Kalau kita sudah keluar dari pintu untuk pindah ke alam baka, kita tidak akan bisa balik lagi masuk kembali melalui pintu yang sama. Orang yang mati suri pada umumnya belum keluar dari pintu ini, mereka masih berada di dunia fana, mereka belum melewati batas pintu kematian.

Kata jiwa dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Sansekerta "jiva" sedangkan kata roh diserap dari bahasa Arab Al-Ruh. Sedangkan Soul dalam bahasa Inggris diserap dari kata Jerman Kuno "seula". Sedangkan jiwa sudah meninggalkan raganya dalam bahasa Indonesia disebut "arwah".

Jiwa dalam bahasa Arab disebut juga "al-nafs' seperti juga dalam bahasa Ibrani "nefesy'. Kata ini identis dengan nafas, sebab Sang Pencipta menciptakan manusia dengan cara meniupkan "nafas" kehidupan kedalam raga manusiawi. Oleh sebab itu juga kata bernafas dalam bahasa Jerman "atmen" diserap dari bahasa Sasenkerta "atman" yang berarti jiwa. Sedangkan dalam bahasa Yunani "Psyche" maka dari itu jurusan ilmu jiwa disebut Psikologi.

Keyakinan tentang keberadaannya jiwa bukan dibahas oleh para agamaist saja melainkan sudah ribuan tahun sebelumnya dibahas dan diakui juga oleh para filsuf besar Plato, Socrates maupun Rene Descartes yang pernah mengeluarkan pernyataan bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan, bahwa seseorang bisa berpikir. "Aku berpikir maka aku ada" dalam bahasa Latin "Cogito ergo sum" atau dalam bhasa Perancis "Je pense donc je suis".

Mengenai jasad atau tubuh seseorang sudah jelas bahwa ia akan kembali menjadi debu, tetapi kemana pergi jiwa/roh nya? Menurut Prof. Dr. Werner von Braun Alm. seorang ilmuwan yang sangat piawai sekali dalam hal pembuatan roket: "Saya percaya akan adanya roh/jiwa, karena berdasarkan logika dari ilmu pengetahuan, tidak mungkin sesuatu akan hilang begitu saja tanpa berbekas, kalau tadinya ada nyawa di dalam tubuh kita, berarti nyawa tsb akan tetap ada dan akan tetap hidup terus!"

Banyak orang sudah berusaha untuk mengukur berdasarkan berat badan orang hidup dan orang mati dan selisihnya inilah yang mereka definisikan sebagai beratnya dari jiwa/roh.

Apakah mungkin jiwa/roh itu merupakan perasaan kita, seperti kasih sayang, marah, sedih, senang, rasa cemburu? Karena perasaan juga tidak bisa diukur dan ditimbang, disamping itu belum ada manusia yang bisa menciptakan atau mendefinisikan secara exact perasaan itu bagaimana! Kita bisa menciptakan robot yang serba canggih, tetapi tidak mungkin manusia bisa menciptakan robot yang bisa mempunyai perasaan, karena robot tidak mempunyai jiwa/roh. Maka dari itu juga kata nafsu, seperti nafsu birahi, nafsu amarah dalam bahasa Indonesia, diambil dari kata yang sama seperti jiwa "al-nafs" dalam bahasa Arab.

Walaupun demikian ada banyak orang yang berpendapat bahwa perasaan itu adalah hasil produksi atau output dari daya pikir kita, maka dari itu kalau otak dari orang tsb mati, maka matilah juga perasaannya atau dalam arti kata lain tidak ada perasaan lagi setelah kita mati atau tidak ada lagi kehidupan setelah mati. Aliran yang mempercayai pendapat ini disebut Epiphänomenalismus. Apakah bisa dibuktikan bahwa perasaan itu adalah hasil output dari daya pikir kita? S/d detik ini tidak ada ilmuwan manapun juga yang bisa melokalisir di bagian otak mana kita merasa senang, sedih ataupun marah.

Menurut pendapat mang Ucup, otak kita bisa melaksanakan aktivitas perasaan seperti menyayangi, senang, susah, sedih maupun marah, tetapi penyebabnya bukanlah otak kita. Ini sama seperti TV, kita bisa melihat film karena ada TV, tetapi TV itu sendiri tidak membuat film, melainkan film dibuat di studio pemancar. Dan program tetap berjalan terus walaupun TV tsb dipadamkan. Otak kita itu sama seperti CPU dari computer, tetapi CPU tsb bukanlah programmer nya.

Kalau jasad dan badan kita mati, berarti yang akan hidup terus ialah arwah/roh/jiwa. Pertanyaan yang saya ingin ketahui dalam cara bagaimana roh/jiwa ini bisa hidup terus.

1. Apakah seperti dalam keadaan tidur atau seperti dalam keadaan pingsan, jadi dalam keadaan pasiv?
2. Apakah seperti pada saat kita lagi mimpi dimana kita bisa aktiv melakukan kegiatan seperti dalam kehidupan sehari-hari ?
3. Apakah mengulang lagi masa hidup yang lampau, jadi bisa bertemu dengan kawan-kawan lama, maupun anggota keluarga yang sudah berada di alam baka?
4. Ataukah kita akan dilahirkan dalam bentuk dan wujud baru jadi memulai sesuatu dari nol lagi?

Berdasarkan pengalaman dari orang-orang yang pernah, bahkan sering memanggil arwah, kemungkinan ke tiga lah yang sering dan mudah dibuktikan. Karena kalau ia sudah dilahirkan kembali pasti arwahnya tidak akan bisa dipanggil lagi, karena arwah tsb sudah berada di dalam jasad atau tubuh baru, jadi tidak bisa keluar lagi dari terminal.

Sedangkan kalau dalam keadaan tidur alias pasiv, tentu ia tidak akan bisa aktiv berkomunikasi dengan orang yang memanggilnya. Tetapi kemungkinan lainnya arwah dari orang yang sudah meninggal bisa dipanggil kembali, karena mungkin arwah/roh tsb sedang menunggu di "waitingroom" sebelumnya ia dilahirkan kembali, jadi masih belum masuk ke tubuh atau jasad baru. Berapa lama ia harus menunggu di waitingroom? Saya tidak tahu karena dalam soal ini saya belum berpengalaman.

Apabila rekan-rekan dan para pembaca belum bosan baca mengenai masalah kematian; mungkin pada suatu saat, saya akan melanjutkan untuk menulis pengalaman mereka yang sudah pernah mati alias Mati Suri atau dalam bahasa Londonya disebut "Near Death Experience" (NDE). Apa mungkin kita bisa Sightseeing sebagai tourist dengan ticket PP ke dunia kematian ? Apa yang mereka telah lihat dan alami disana ? Bagaimana rasanya mati itu ?

disadur @ artikel-kompas.blogspot.com